Bareng Dee Lestari Ngopi Rempah di Hangout Café
Senin
petang, Ternate baru saja usai di guyur hujan, dalam suasana kota yang mendung
itu, saya menyempatkan diri menikmati
Kopi bareng Dee Lestari (dalam pengertian imajiner) di hangout cafée. Cafée ini terletak di depan rumah makan
Bagdad, di bilangan jalan kompleks pohon pala, Kota Baru, Kota Ternate. Saya
benar-benar menikmati kopi di sini, terlebih setelah salah seorang pengelola
Cafée kepada saya menuturkan, biji kopi Hangout di ambil langsung dari daratan
halmahera.
Kopi
hangout Dibumbui dengan Cengkih (Syzygium
aromaticum), pala (Myristica- fragrans).
Pengolahannya dilakukan secara manual.
Saya menyimak penuturannya, sambil perlahan
menyeruput kopi, dan memerhatikan cangkirnya yang terbuat dari tampurung, batok kelapa.
Entah
kenapa, setiap menikmati Kopi di sini, saya merasa ada semacam dealektika
psikologis. Saya seolah-olah menatap kearifan, membayangkan ketika Teknologi
belum maju seperti sekarang ini, moyang saya dari pulau-pulau pesisir memanfaatkan
apa yang tersedia dari alam untuk diperbaharui, misalnya memanfaatkan tampurung, batok kelapa untuk dijadikan
tempat minum, dan seterusnya. Atau membayangkan masa silam di labuhan
internasional Talangame, Bastiong (sekarang) sedang ramai mengatur perniagaan
rempah dengan orang-orang dari manca negara. Ah, sudahlah. Itu masalalu.
Meminjam Premisnya Agus S.B, hidup adalah kenangan.
Setelah
sejam percakapan dengan pengelola Cafe, saya menepi di salah satu ruangan, yang
sengaja didesain Previlage, dengan
memadukan konsep modern dan tradisional. Di sana, ada sebuh televisi
hitam-putih, keluaran 70-an, dan beberapa gambar, serta Photo tentang Ternate tempoe Doeloe terpampang rapi di dinding
ruangan. Musik akustik nan melankoli mengeringi saya di café ini sampai larut malam.
Saya
tidak sendiri di sini. Saya di temani Dee Lestari. Dee memang tidak hadir secara
fisik, tapi imajinasi dan idenya hadir di sini. Dari Filosifi Kopi yang ditulisnya,
saya menemukan quote seperti ini ;
“Kita
tidak akan menyamakan kopi denga air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu
buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan”.
“Seindah
apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jedah? Dapatkah ia
dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?
Dan saling menyayang bila ada ruang?”
Kata-kata
metafora Dee Lestari di atas, nyaris menyulap mendung malam terasa ada
bintang-gemintang. Dee sekali waktu, jika berkunjung ke Ternate, singgahi
barang sejenak di Hangout cafee, nikmati kopi rempah yang tidak tergilas
modernitas namun tampil dengan nuansa kebaruannya.
Comments
Post a Comment