Visit Tidore Island - Ihwal Leluhur di Tidore



Kedaton Kesultanan Tidore | Foto: Indra Talip


Orang Jauh yang Paling Dekat

Kemarin, Senin petang menjelang magrib, saya bersama dua sahabat, Safrudin Abas dan Kaka Faris Bobero bertemu dengan Abdullah Dahlan, Ketua Garda Nuku (GN) di rumahnya, yang letaknya tidak jauh dari Polres Tidore, di Kelurahan Goto. Kami  lalu dipersilahkan masuk.

Suasana pun semakin beraroma ketika Bunda Anty (istri Ko Aloed) menyajikan kopi dabe. Saat itu di ruang tamu, kami memulai ceritra.

Sambil menikmati kopi, Ko Aloed membawa kami pada perbincangan dengan seorang kawannya asal Seram. Malam itu hujan deras sekali, Ko Aloed bagai tape record yang diputar ulang, berusaha me-replay ingatannya kembali secara detail, sembari berceritra pada kami ihwal keberadaan Nuku di Seram yang ia rekam melalui pengisahan oleh kawannya itu.

Orang-orang Seram percaya, Nuku adalah orang sakti, yang di berkati [Jou Barakti]. Mirip dengan kepercayaan orang Jawa tentang “Satria Piningit”. Begitupun dengan riwayat tentang Nuku. Raja-raja, atau sultan selain Nuku,.

Mereka (orang Seram), fasih menceritakan kepada siapapun, yang ingin memperoleh riwayat tentang mereka. Namun, riwayat tentang Nuku, proses penceritaannya dilakukan dengan menggunakan ritual tertentu, dan diceritakan secara rahasia. Tradisi penceritaan Nuku dengan ritual tertentu diwariskan secara turun temurun, dirawat hingga saat ini.

“Orang Seram, baik yang dewasa bahkan anak-anak sangat mengenal sosok Nuku. Mereka mampu bercerita riwayat para pejuang terdahulu, namun, jika bercerita tentang Nuku, mereka sangat menjaga. Harus ada ritual khusus sebelum bercerita tentang Nuku,”

Husain Sjah, Sultan Tidore ke-37 | Foto: Faris Bobero
Mendengarnya, tiba-tiba saya teringat dengan sahabat saya dari Ambalau, di Kabupaten Buruh selatan. Adalah Karim Nakmatu, pertemuan dengannya pada 2013 silam di Ternate dalam Latihan Kader HMI, Advance Training. Disela pelatihan, kami berdua selalu berhasil mencuri waktu dan berdiskusi banyak hal tentang hubungan Tidore dan moyangnya. Dengan logat Ambon yang kental, Kepada saya, Karim menuturkan asal-usul moyangnya, konon menurut Karim, moyangnya berasal dari Tidore.

Dengan bahasa yang terbatah-batah, Karim mengatakan, moyangnya bersama prajurit lainnya dari kesultanan Tidore diutus pihak keraton untuk mencari Sultan yang belum pulang sejak melawat ke Seram. Tanggal, dan tahunnya luput dari ingatan Karim. Setelah pecarian Sultan ke Seram, sebagian prajurut pulang, sebagiannya lagi memilih menetap, dan menikah dengan orang Seram, dan Ambalau termasuk moyangnya.

Sebagaimana dalam dictum Filsafat Jou se Ngofangare tentang siklus hidup; manusia di proses dari tiada, ke-ada kemudian kembali lagi ke-tiada. Sebelum kembali ke-tiada, moyangnya meninggalkan tanda pengingat berupa peci dan tupa (tempat penyimpnan pinang-sirih, dan kapur yang terbuat dari kayu, bentuknya kotak persegi empat), yang dibawa moyangnya ketika melawat ke Seram mencari Sultan yang hilang. Tanda yang ditinggalkan moyangnya itu sedikit banyak membantu, dan mempermudah pelacakan asal-usul moyang Karim di Tidore.

Atas niat karim itu, usai pelatihan Advance Training, di HMI, mulailah saya mendampingi Karim menjelajah asal-muasal moyangnya di Tidore. Seingat saya, kami berangkat menjelang magrib, saat senja turun di antara selat Maitara dan Tidore, dan kami pun perlahan hilang di telan malam dalam spead boad menuju Tidore.

Kampung Gurabunga di lereng gunung Tidore | Foto: Indra Talip
Setiba di Tidore, saya dan Karim dijemput Suaib, kawan saya dari Tidore asal kelurahan Tuguiha. Karena sudah larut malam, kami kemudian memilih rehat, dan tidur semalam di sekretariat HMI Cabang Tidore. Ke esokannya, kami mula-mula ke Gurabunga (tak sedikit penulis menyebut Gurabunga adalah Kampung di atas awan) menghadap Sowohi. Sowohi adalah lembaga adat yang mengurusi dunia gaib, yang dalam bahasa lokal Tidore menyebutnya dunia Kornono. Konsep kekuasaan yang dianut Kesultanan Tidore memang berbeda sama sekali dengan tiga kesultanan lainnya di Kepulauan Maluku (Ternate, Jailola, dan Bacan). Selain dunia Kornono, di Tidore juga dikenal dengan kekuasaan dunia sita-sita, yaitu urusan dunia ditangani oleh Sultan, dan para Bobato (setingkat menteri dalam strukur Negara).

Konsep kekuasaan yang diterapkan ke dalam struktur adat Tidore adalah cerminan dari sistem kepercayaan yang dianut masyarakat Tidore. Orang-orang Tidore percaya, di Tidore selain dihuni manusia, juga dihuni oleh bangsa Jin, dan mahluk halus lainnya (dunia gaib). Mereka juga percaya keberadaan Gosimo, leluhur orang Tidore. Karena itu, mereka sangat menghayati Borero Gosimo, atau pesan-pesan leluhur. Bagi orang Tidore, merawat dan memelihara Borero Gosimo, sama halnya dengan merawat dan memelihara diri sendiri. Meneruskannya kepada anak-cucu adalah kewajiban mereka. Beberapa Borero Gosimo saya kutip di bawah ini;

“Rubu-rubu rame-rame, hisa se lili kie se gam la yokumati se cahaya, sogado-gado ngofa se dano, (sama-sama kita menjaga tanah leluhur agar cahaya kebenaran selalu menyinari hingga anak cucu kelak)”
“ngone na ahu se gogahu, rejeki se rahmati, sone se ahu, ge jou madubo, jou allah ta‘ala yo atur sefato. no sogewa-gewa ni tabalai se tabareko, la sojud se malahi te jou allah ta’ala, (hidup dan kehidupan, rejeki dan rahmat, mati dan hidup adalah restu dan izin Allah SWT. Biarpun kalian berada pada kesibukan dunia yang amat sangat, usahakan sedapat mungkin luangkan waktu bersujud kepada Allah SWT) 
Fola Ijo (Rumah Adat), salah satu tempat tinggal Sultan Nuku semasa kecil. | Foto: Indra Talip
Ah, sudahlah. Saya hampir lupa Karim. Jin dan Gosimo, insya Allah saya akan menulis di bagian lain. 
 
Setelah berdiskusi dengan Sowohi, Karim mendapat informasi yang cukup tentang hubungan Tidore dengan Seram dan sekitarnya. Tapi, informasi tentang moyangnya masih sangat minor, sebab Karim ketika berdiskusi dengan Sowohi. Ada beberapa hal sebagai tanda, yang ditinggalkan moyangnya tak diceritakan. Lalu kamipun beranjak pulang. Saya memerhatikan wajah Karim, nampaknya gelisah. Apa yang ia cari, belum juga ditemuinya.

Namun, malam itu nasib baik berpihak kepadanya. Sesampainya kami di rumah Suaib, di Kelurahan Tuguiha, Suaib menceritakan ihwal moyang Karim kepada ayahnya. Tanpa jawab apa-apa, ayahnya beranjak tanpa suara, perlahan hilang di balik kamar.

Tiba-Tiba Suaib keluar bersama Karim, saya tak tahu lagi, malam itu mereka entah kemana. Pertemuannya dengan Suaib seolah-solah takdir, klausul alam, hukum sebab akibat. Suaib separuh berhasil membuat terang garis nasab Karim dan keluarganya di Tidore. Dua jam berlalu, barulah mereka kembali, dan menceritakannya kepada saya. Menurut Suaib, ada cerita yang sama dari Tuguiha, yang berasal dari klan Tokaka. Rupanya malam itu, mereka sempat bertemu dan bincang banyak hal tentang asal-muasal moyang Karim.

Sketsa Pantai Tuguiha | Foto: Sofyan Daud
Tak berselang lama, dalam perbincangan kami, ayah Suaib keluar dari kamarnya, di tanganya saya memerhatikan, dibawanya pena dan selambar kertas. Ia duduk di depan kami lalu menyoret-nyoret silsilah, kaitannya dengan nasab Karim dan moyangnya. Diklaimnya berdasarkan silsilah, bahwa moyang Karim berasal dari klan Taran.

Beranjak dari itu, Karim terdesak waktu, dan segera balik ke Ternate, seterusnya berlayar bersama kapal Dorolonda menuju Ambon. Dan pencariannya pun berakhir.

Beberapa batang rokok sudah habis terbakar, menyisahkan separuh dalam pembungkusnya. Kopi Dabe mulai dingin, dan malam pun semakin hening. Sehening pencarian Karim.

malam itu, di tengah derasnya hujan, di rumah Ko Aloed, saya membayangkan. Barangkali, saya dan orang Tidore lainnya adalah orang dekat tapi terasa jauh. Orang-orang Tidore yang hidup di atas tanahnya sendiri, kadang alpa terhadap sejarah dan tradisinya. Sedangkan seorang Karim terus mencari jalan pulang pada asal-muasal dan falsafah hidup moyangnya. (*).

Mari ke Tidore lewat lomba blogger Tidore Untuk Indonesia | Visit Tidore Island




Comments

Post a Comment

Popular Posts