komunitas epistemik
Membangun Prophetic Minority
Satu ketika di Jakarta, saya diundang mengikuti diskusi di Forum Diskusi Utan Kayu (Fordik) yang bermarkas di Universitas Islam Jakarta (UIJ). Forum ini di gagas oleh Thole Waskhito, kader HMI Cabang Jakarta, dan Mohammad Shofa, Kader HMI Cabang Surabaya. Shofa juga merupukan Direktur di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) PB HMI. dalam diskusi itu, saya mengajukan argumentasi dengan merujuk M Dawan Raharjo, dalam dua artikelnya. Menuju komunitas epistemik di kalangan HMI (2005), dan Di Balik Gagasan-Gagasan Nurcholish Madjid (2013). Dari sanalah saya sampai pada hipotesa, membangun gerakan Post Cak Nur. Idea ini kemudian di ulas lebih panjang oleh Mohammad Shofa dalam tulisannya berkepala, “Intelektual Post Cak Nur” diterbitkan oleh media HMI yang diasuhnya sendiri, Independensia. Sebagaimana pengakuan Dawam, istilah “komunitas episteme” (Liberal) ia pinjam dari buku hasil disertasi Rizal Malaranggeng Mendobrak Sentralisme Ekonomi (2002).
Satu ketika di Jakarta, saya diundang mengikuti diskusi di Forum Diskusi Utan Kayu (Fordik) yang bermarkas di Universitas Islam Jakarta (UIJ). Forum ini di gagas oleh Thole Waskhito, kader HMI Cabang Jakarta, dan Mohammad Shofa, Kader HMI Cabang Surabaya. Shofa juga merupukan Direktur di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) PB HMI. dalam diskusi itu, saya mengajukan argumentasi dengan merujuk M Dawan Raharjo, dalam dua artikelnya. Menuju komunitas epistemik di kalangan HMI (2005), dan Di Balik Gagasan-Gagasan Nurcholish Madjid (2013). Dari sanalah saya sampai pada hipotesa, membangun gerakan Post Cak Nur. Idea ini kemudian di ulas lebih panjang oleh Mohammad Shofa dalam tulisannya berkepala, “Intelektual Post Cak Nur” diterbitkan oleh media HMI yang diasuhnya sendiri, Independensia. Sebagaimana pengakuan Dawam, istilah “komunitas episteme” (Liberal) ia pinjam dari buku hasil disertasi Rizal Malaranggeng Mendobrak Sentralisme Ekonomi (2002).
Komunitas epistemik dalam sejarah, mula-mula
dikembangkan oleh tokoh pemikir yang mengembangkan kader-kader. Tokoh awalnya
adalah R.M Tirto Adhi soerjo. Mas Tirto sendiri adalah tokoh dibalik lahirnya
organisasi Budi Utomo (1908) sekaligus pendiri pers pribumi pertama di
indoneisa (1903). Tokoh kedua adalah H.O.S Tjokroaminoto. Pusatnya di rumah
Indekosnya, dari sanalah Cokro membina Soekarno, Kartosoewirjo, Muso, Alimin,
dan Darsono. Tokoh lain yang mempunya murid adalah Haji Agus Salim. Lewat Agus Salim
terbentuklah Jong Ismiten Bond, dan Islam Studenten Studieclub (ISS) dengan
tokoh utamanya seperti Sjamsuridjal, Mohammad Roem, Jusuf Wibisono, dan Kasman
Singodimedjo. Bahkan ISS menerbitkan jurnal keislaman Het Licht atau al-Nur
yang berarti Cahaya. Mereka inilah dikemudian hari menjadi semacam katalistor
perubahan politik dan pemikiran kebangsaan dan kenegaraan di indonesia.
Selain Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim, muncul tokoh
St. Sjahrir yang melahirkan sejumlah murid. Dari asuhanya lahir tokoh-tokoh
seperti Subadio Sastrosatomo, Sarbini Sumawinata, Sjafruddin Prawiranegara,
Sjahruzah, Soedjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo. Peranan Sjahrir
dilanjutkan oleh salah satu muridnya, Sumitro Djojohadikusumo yang mendirikan
Jakarta School Of Economics yang kemudian menjadi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (UI). Umumnya Murid Sumitro adalah ekonom, yang paling terkemuka
adalah Widjojo Nitisastro. Ia mempunyai relasi kuat dengan ekonom lainnya,
semisal Emil Samil, Soebroto, Ali Whardhana, dan Sumarlin. Para ekonom ini
dijuluki Mafia Barklay yang bekerja dibalik operasi ide-ide liberalisme ekonomi
dan pembangunan pesanan Pak Harto.
Dalam lingkungan HMI, di Jogya muncul komunitas
epistemik “Limited Group” dengan mentor Mukti Ali, mantan Mentri agama era
Soeharto, berhasil mengembangkan kader utamanya seperti Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Dawam Raharjo. Kelompok ini terkenal dengan kubu pluralisme.
Sementara di HMI Cabang Bandung muncul kelompok diskusi Masjid Salman ITB,
dengan tokoh-tokohya, seperti Immaduddin Abrurrahiim, Endang Saifuddin Ansari
dan Ahmad Nukman yag dikenal sebagai aspiran kuat Masyumi ketika itu. Kelompok
Masjid Salman terkenal dengan sebutan kelompok Islam garis keras.
Kedua kelompok diatas pada periode HMI 1960-an populer dengan istilah “kubu
Islamis-fundamentalis” Bandung, dan “kubu budaya pluralis” Jogya. Bahkan kedua
kelompok ini mendukung penuh Cak Nur dalam pencalonon ketum PB HMI pada Kongres
HMI di Solo 1966. Bersama Cak Nur di periode kedua (1968), mereka berhasil merumuskan
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai panduan ideologi perjuangan HMI.
Pasca kelompok ini, nyaris tidak ada lagi komunitas epistemik yang berkembang
di lingkungan HMI.
Di alam kekuasaan Orba, kecenderungan pemikiran ala
Cak Nur dan kelompok epistemik yang berhaluan modreat, liberal dan modernis
dilingkungan HMI jarang dikembangkan oleh kadernya sendiri. Justru di alam
kekuasaan Orba, fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah kebanyakan kader HMI
lebih dekat dengan kekuasaan. Karena itu, Cak Nur pun geram melihat
perkembangan HMI yang jauh melesat dari cita-cita awal yang diusung Lafran Pane
dkk, di Medio 1947. Lalu Cak Nur pun menyerukan, bubarkan saja HMI. Kritik
pedas juga didaratkan Ridwan Saidi (Ketum PB HMI 1974-1976), HMI adalah satpam
kekuasaan. Kader HMI dalam konstruksi alam Orba adalah kopi paste dari
alumninya di jalur politik. Karena itu, ketika reformasi. HMI gagal menyediakan
stok kader organiknya dalam proses transformasi politik konstitusional dan
demokratisasi di indonesia.
Adanya gerakan Post Cak Nur, yang diusung oleh
kawan-kawan di Fordik, merupakan hawa sejuk yang relefan dengan lingkungan yang
akhir-akhir ini panas dengan issu-issu yang kembali mendikte Islam sebagai
agama kekerasan, tidak toleran, berwatak koruptif, teroris dan fundemantalis
ortodoks. Dan kita pun kepanasan, mencari mata air kaderisasi yang memungkinkan
hidup dan berkembang idea-idea yang transformatif. Cak Nur sering menyebutnya
Idea Of Progres. Issu belakangan ini tentang Islam dan issu kebangsan lainnya, kurang
lebih sama di periode Sulastomo dan Cak Nur (1963-1971). Meskipun ekskalasi dan
suhu politiknya tidak sepanas periode mereka. Seperti issu kebangkitan PKI dan
Depolitisasi partai politik berlable Islam, teroris dan kekerasan atas nama
agama.
Kenyataanya akan jadi lain, ketika Cak Nur hanya di
hadirkan sebagai indentitas simbolik intelektual HMI semata. Sama halnya,
ketika Akbar Tanjung, alumni HMI yang kesohor di pentas politik nasional,
diasosiasikan sebagai personal simbolik HMI di kutub politik.
Diakhir diskusi, sambil bercanda saya mengutip cerita
Narcisus tokoh tampan dalam legenda Yunani, melihat bayangannya sendiri
terpantul di permukaan air. Karena menyangka bayangan itu nyata, ia pun jatuh
cinta, dan berusaha memilikinya. Akhirnya ia menghabiskan sisa hidupnya di
pinggir sungai tersebut dengan harapan kosong, bahwa ia akan memiliki orang itu
di pantulan tersebut.
Gerakan intelektual post Cak Nur yang di gagas oleh
kawan-kawan di Fordik harusnya berakar-urat pada komunitas epistemik. Agar dapat
mengembangkan bakat dan peranan kader yang unik di tengah-tengah galaxy
“aktivis mahasiswa” sebagai “prophetic minority”, meminjam istilah Jack
Newfield dalam bukunya “The Prophetic Minority” (1966), sebagai genre kelompok
sosial tersendiri (Dalam Dawam Raharjo 2013). Jika tidak, kita sebetulnya
sedang mengalami syndrom narcissus, sekadar gerakan narsis.
Comments
Post a Comment